Kepulauan ini pernah dihempas Tsunami beberapa tahun lalu. Dampaknya masih terasa hingga saat ini, bahkan rekonstruksi wilayah yang diterjang tsunamipun belum lagi rampung. Tapi fenomena bahwa wilayah ini memiliki ombak yang indah dan sering dijadikan ajang selancar tingkat internasional tentu tak perlu diragukan. Meski pengelolaan sektor wisata di wilayah ini belumlah maksimal.da untuk berselancar Bercerita tentang Nias, nyaris tidak lepas dari tradisi hombo batu. Atraksi lompat batu khas daerah ini pernah menghiasi lembaran uang seribu rupiah. Selain itu, Sorake, salah satu pantai di Nias sangat akrab di telinga penggemar olah raga selancar.
Teluk Dalam adalah ibu kota Kabupaten Nias Selatan, untuk sampai ke sana membutuhkan usaha ekstra. Transportasi ke daerah ini masih tergolong sulit. Dibutuhkan waktu berjam-jam, bahkan bisa menghabiskan waktu satu hari, untuk bisa sampai di kabupaten baru ini.
Nias Selatan terdiri dari 104 gugusan pulau besar dan kecil. Letak pulau- pulau itu memanjang sejajar Pulau Sumatera. Pulau-pulau tersebut memiliki panjang sekitar 60 kilometer dan lebar 40 kilometer. Terdapat empat pulau besar, yakni Pulau Tanah Bala (39,67 km2) Pulau Tanah Masa (32,16 km2), Pulau Tello (18 km2), dan Pulau Pini (24,36 km2). Tidak seluruh pulau berpenghuni, karena masyarakatnya tersebar di 21 pulau dalam delapan kecamatan.
Komunikasi menggunakan telepon dari dan ke kabupaten ini juga terbatas. Telepon terbilang barang mewah. Sambungan telepon sebanyak 369 hanya terpusat di Teluk Dalam engan memanfaatkan sambungan dari Gunungsitoli. Tidak ada sinyal telepon genggam di kabupaten ini. Waspada, bila listrik padam, warung telekomunikasi bisa tidak berfungsi.
Keterbatasan sarana dan prasarana transportasi dan komunikasi juga menjadi kendala di daerah ini. Dari 212 desa, sekitar 60 persen tidak terjangkau kendaraan roda empat, bahkan roda dua sekalipun. Jalan yang menghubungkan Teluk Dalam dengan seluruh ibu kota kecamatan sekitar 80 persen rusak parah, banyak jembatan dalam kondisi rusak. Perlu keahlian khusus mengendarai kendaraan di antara papan penopang jembatan. Informasi ini diharapkan tidak menciutkan naluri petualang anda.
Sebagai daerah kepulauan, masyarakat bergantung kapal laut, namun tidak setiap hari ada pelayaran. Iklim wilayah ini dipengaruhi Samudra Hindia. Jika ombak tenang, kapal yang menghubungkan Teluk Dalam dengan Pulau Tello, bisa berlayar 2-3 kali seminggu. Biasanya sekitar bulan September sampai November frekuensi pelayaran sekali seminggu, bahkan sering tidak ada pelayaran sama sekali, karena di bulan-bulan tersebut curah hujan sangat tinggi, dibarengi badai besar. Pada bulan Agustus, kadang badai sudah mulai datang, sebab cuaca di wilayah ini bisa berubah secara mendadak.
Perubahan cuaca yang drastis sering mengubah jadwal penerbangan dari lapangan terbang perintis di Pulau Tello. Bukan hal aneh bila penerbangan terpaksa dibatalkan karena kondisi cuaca yang buruk.
Potensi wisata wilayah ini terletak pada jalur yang disebut Segitiga Emas Industri Pariwisata Nias Selatan, yakni Kecamatan Lolowa’u, Gomo dan Pulau-pulau Batu. Porosnya adalah Omo Hada, di mana terdapat rumah tradisional di Desa Bawomataluo, Kecamatan Teluk Dalam.
Berada di Desa Bawomataluo seakan anda terlempar ke masa silam. Deretan rumah tradisional terbuat dari kayu dengan arsitektur khas Nias ini dihuni sebagai mana layaknya kompleks perumahan. Ukiran batu megalitik menghias di beberapa tempat. Di perkampungan itu anda bisa menyaksikan tradisi hombo batu atau lompat batu.
Di Kecamatan Pulau-pulau Batu terdapat lokasi menyelam, terumbu karang, serta ikan- ikan hias dan pantai berpasir putih. Sisa peninggalan zaman megalitik berupa batu-batu megalit di Kecamatan Lahusa dan Gomo. Andalan wisata lainnya adalah Pantai Lagundri yang berpasir putih serta Pantai Sorake yang ombaknya menjadi sarana olahraga selancar.
Meski beberapa kali diadakan lomba berselancar tingkat internasional di Pantai Sorake, lokasi ini tidak tertata rapi. Sepanjang pantai Lagundri dan Pantai Sorake terdapat penginapan murah meriah dengan sewa penginapan sekitar Rp 20.000 per malam.
Untuk mempermudah akses ke wilayah ini, sedang diupayakan membangun lapangan terbang. Salah satu dari tiga wilayah yaitu Kecamatan Teluk Dalam, Lahusa, dan Amandraya menjadi pilihan pembangunan bandar udara yang membutuhkan lahan seluas 200 hektar tersebut.
Nias memang baru tertimpa bencana tsunami, tapi pembangunan kembali untuk memperbaiki wilayah yang porak poranda ini tetap dijalankan. Wilayah ini tengah berbenah. Ombak pantainya tak berkurang keindahannya, tetap bergulung memikat dan mengundang nyali anda.
Sumber : Perempuan
wisata sumatera utara
Selasa, 02 Agustus 2011
Tobasa, Lembahnya Menjulur ke Danau Toba
TOBA-SAMOSIR (Tobasa) sebagai kabupaten merupakan pemekaran dari Kabupaten Tapanuli Utara terbentuk dan diresmikan Menteri Dalam Negeri (Mendagri) tahun 2002. Wilayah Tobasa bergunung dan berbukit, mengitari lembah dan menjulur ke Danau Toba.
Toba Samosir merupakan gabungan dua kata, Danau Toba dan Pulau Samosir setelah memisahkan diri dari kabupaten induk, Tapanuli Utara berdasarkan Undang-undang No. 12 Tahun 1988. Menurut geografisnya, kabupaten ini berada pada 2.06 – 2.435 Lintang Utara dan 98.35 Bujur Timur.
Sebelah utara berbatasan dengan Kabupaten Karo dan Kabupaten Siumalungun, sebelah timur dengan Kabupaten Asahan dan Kabupaten Labuhan Batu, sedangkan di sebelah selatan dengan Kabupaten Dairi.
Kabupaten Tobasa memiliki luas, 3.440.85 kilometer persegi dan luas perairan Danau Toba, 1.102.60 kilometer persegi terletak pada ketinggian 300 – 1.500 meter di atas permukaan laut dengan topografi dan postur tanah yang beraneka ragam, camping ground dan lokasi pemancingan dengan panorama yang sangat indah.
Dolok Tolong gunung yang terletak di sebelah selatan Balige. Pada puncak gunung tersebut dibangun stasiun transmisi televisi dan menara telekomunikasi. Tarabunga adalah desa yang berada di lereng Dolok Tolong, terletak di tepian Danau Toba. Sementara dari ibukota kabupaten, hanya berjarak 2 kilometer
Pemandangan alam yang indah Danau Toba bisa dilihat dari kawasan Hutagurgur di pinggir ruas jalan antara Balige – Siborong-borong. Balige sendiri sebagai ibukota kabupaten, letaknya juga tidak jauh dari tepian Danau Toba dan berada pada dataran tinggi, Bukit Barisan.
Sebagai ibukota kabupaten, Balige dikelilingi beberapa obyek wisata yang menarik, antaranya menyuguhkan pasar tradisional dan Museum Balige yang letaknya berdekatan dengan tugu salah seorang Pahlawan Revolusi, Jenderal D.I Panjaitan
PARTIGA-TIGA (Pedagang) di pasar-pasar tradisional Tobasa didominasi kaum hawa. Pada umumnya mereka berjualan hasil bumi, antaranya beras, umbi-umbian. sayur-sayuran, cabai, bawang, buah-buahan dan lain-lain.
Sektor pariwisata menjadi andalan Tobasa, dimungkinkan keberadaan Danau Toba yang senantiasa indah dilihat dari segala sudut. Apakah pagi, siang hari ataukah senja, bahkan pada malam hari apabila disinari cahaya bulan. Tempat-tempat yang menjadi tujuan wisata, baik lokal, Nusantara mau pun mancanegara di desa-desa di tepi Dabau Toba, selain Balige, yakni Porsea, Lumbanjulu dan Laguboti.
Selain desa-desa yang menyajikan lokasi wisata, para pengunjung juga ingin menikmati kehidupan flora dan fauna, kehidupan sehari-hari penduduk asli dengan upacara agama dan adat budaya yang unik yang didukung musik tradisional khas Batak serta peninggalan-peninggalan sejarah menjadi kesatuan yang tidak bisa dipisahkan dari keberadan Danau Toba.
Begitu pun, sektor pertanian merupakan tulang punggung perekonomian warga Toba-Samosir dari lahan pertanian yang mereka olah, mampu berswasembada dan bahkan surplus beras. Bahan pangan lain yang dihasilkan, jagung, kacang tanah, sayur-sayuran, antaranya cabai, bawang, buncis, kentang serta tanaman buah yang cukup potensial, yakni alpokat, durian, pisang, jeruk dan nenas.
Sungai Asahan, menjadi satu-satunya pintu ke luar air Danau Toba, menuju ke Selat Malaka, Sungai Asahan sebagai penerima air Danau Toba di Kecamatan Porsea pada suatu teluk di ujung tenggara dengan lingkupan dua semenanjung, yakni Tanjung Sibolangit yang biasa disebut juga dengan Tanjung Uluan di sebelah utara dan Tanjung Balige di sebelah selatan.
Arus air Sungai Asahan yang mengalir menuju Selat Malaka melahirkan air terjun Sigura-gura dan air terjun Tangga terkadang disebut juga sebagai air terjun Sampuran Siharimau yang membangkitkan arus. Sehingga membuat Sungai Asahan menjadi salah satu sumber tenaga hydrolis yang tidak saja besar, tetapi juga sangat ekonomis.
sumber : antara-sumut.com
Masjid Al Osmani Bukti Kejayaan Kerajaan Melayu
Jika berwisata ke Kota Medan, Sumatera Utara, bolehlah luangkan waktu untuk mengunjungi tempat bersejarah yang juga merupakan bukti kejayaan Islam di tanah deli. Tempat bersejarah itu bernama Masjid Al Osmani, yang juga di kenal oleh sebagian besar masyarakat Kota Medan dengan sebutan Masjid Labuhan.
Masjid yang terletak sekitar 20 kilometer sebelah utara Kota Medan itu merupakan salah satu peninggalan sejarah Kerajaan Melayu Deli pada abad ke-19 Masehi. Tidak ada pungutan biaya untuk masuk ke tempat ibadah yang juga menjadi objek wisata yang terletak di Jalan KL Yos Sudarso, Kelurahan Pekan Labuhan, Kecamatan Medan Labuhan.
Mesjid tertua di Kota Medan itu dibangun pada 1854 oleh Raja Deli ke tujuh, yakni Sulthan Osman Perkasa Alam dengan menggunakan bahan kayu pilihan. Kemudian pada 1870 hingga 1872 masjid yang terbuat dari bahan kayu itu dibangun menjadi permanen oleh anak Sulthan Osman, yakni Sulthan Mahmud Perkasa Alam yang juga menjadi Raja Deli kedelapan.
Menurut pengurus Masjid Al Osmani, Ahmad Faruni, ketika itu rakyat dan kerajaan Melayu Deli hidup dalam kemakmuran dari hasil menjual rempah-rempah dan tembakau. Rejeki yang berlimpah sebagian digunakan Sulthan Mahmud Perkasa Alam, yang berkuasa pada saat itu, untuk menjadikan masjid itu sebagai bagunan megah.
Sulthan pun menyewa tenaga arsitek dari Belanda dan Jerman untuk membangun kembali mesjid dengan bahan bangunan yang terbuat dari batu, kapur, dan garam yang dicampur dengan putih telur. Dengan usia mencapai 138 tahun, masjid bercat kuning dan hijau sebagai warna kebesaran Melayu dan Islam itu pun sempat mengalami beberapa kali renovasi dan pemugaran.
Namun semua itu tidak menghilangkan arsitektur asli yang merupakan perpaduan bangunan Timur Tengah, India, Spanyol, Melayu, dan China.
Terdapat tiga pintu utama berukuran besar yang berada di utara, timur, dan selatan masjid dan dulunya hanya digunakan oleh para raja deli.
Sedangkan rakyatnya masuk melalui empat pintu yang berukuran kecil yang berada di bagian utara dan selatan. Kedua pintu berukuran kecil itu mengapit pintu utama.
Di bagian dalam masjid yang sanggup menampung 500 jamaah itu terdapat empat tiang besar dan kokoh yang berfungsi sebagai penyangga utama kubah masjid yang tergolong berukuran besar dibandingkan kubah mesjid lain.
Empat penyangga itu juga mempunyai arti menjunjung empat sifat kenabian, yakni sidiq yang berarti benar, amanah yang berarti dapat dipercaya, fathonah yang berarti pintar, dan tabligh yang berarti menyampaikan.
Hingga kini, selain digunakan sebagai tempat beribadah, masjid itu juga dipakai sebagai tempat peringatan dan perayaan hari besar keagamaan dan tempat pemberangkatan menuju pemondokan jamaah haji yang berasal dari Medan utara.
Sementara itu pada perkuburan wakaf masjid juga terdapat lima makam raja deli yang dikuburkan yakni Tuanku Panglima Pasutan (Raja Deli IV), Tuanku Panglima Gandar Wahid (Raja Deli V), Sulthan Amaluddin Perkasa Alam (Raja Deli VI), Sulthan Osman Perkasa Alam, dan Sulthan Mahmud Perkasa Alam.
Di seberang masjid itu, dulu, ada Istana Kerajaan Melayu Deli. Istana kerajaan itu dibangun ketika Tuanku Panglima Pasutan memindahkan pusat kerajaan dari Padang Datar, sebutan Kota Medan waktu itu, ke Kampung Alai, sebutan untuk Labuhan Deli.
Pemindahan itu dilakukan setelah Tuanku Panglima Padrab Muhammad Fadli (Raja Deli III) memecah daerah kekuasaannya menjadi empat bagian untuk empat putranya.
Masa pemerintahan Tuanku Panglima Pasutan dengan Istana Kerajaan Melayu di Labuhan Deli berlangsung pada 1728-1761, yang kemudian diteruskan putranya Tuanku Panglima Gandar Wahid (1761-1805) dan Sulthan Amaluddin Perkasa Alam (1805-1850).
Lalu Sulthan Osman Perkasa Alam (1850-1858), Sulthan Mahmud Perkasa Alam (1858-1873), dan Sulthan Ma’mum Al Rasyid Perkasa Alam (1873-1924).
Pada masa Sulthan Ma’mum Al Rasyid Perkasa Alam itulah Istana Kerajaan Melayu dipindah kembali ke daerah Padang Datar dengan dibangunnya Istana Maimun pada 26 Agustus 1888 dan selesai 18 Mei 1891. Diikuti pembangunan Masjid Raya Al Mashun pada 1907 dan selesai pada 10 September 1909.
Hal itu dilakukan setelah Kerajaan Melayu di Labuhan Deli dikuasai Belanda, yaitu ketika kerjaan itu dipimpin oleh Sulthan Mahmud Perkasa Alam.
Sang Raja terpaksa memberikan sebagian daerahnya menjadi tanah konsesi kepada penjajah pada 1863 untuk ditanami tembakau deli.
Kini, Masjid Al Osmani merupakan bukti perjalanan panjang sejarah kejayaan Melayu di Kota Medan. Bangunan itu hingga saat ini masih berdiri kokoh. (Muhammad Said)
Foto: Khairul Ikhwan
sumber : antara-sumut.com
Masjid yang terletak sekitar 20 kilometer sebelah utara Kota Medan itu merupakan salah satu peninggalan sejarah Kerajaan Melayu Deli pada abad ke-19 Masehi. Tidak ada pungutan biaya untuk masuk ke tempat ibadah yang juga menjadi objek wisata yang terletak di Jalan KL Yos Sudarso, Kelurahan Pekan Labuhan, Kecamatan Medan Labuhan.
Mesjid tertua di Kota Medan itu dibangun pada 1854 oleh Raja Deli ke tujuh, yakni Sulthan Osman Perkasa Alam dengan menggunakan bahan kayu pilihan. Kemudian pada 1870 hingga 1872 masjid yang terbuat dari bahan kayu itu dibangun menjadi permanen oleh anak Sulthan Osman, yakni Sulthan Mahmud Perkasa Alam yang juga menjadi Raja Deli kedelapan.
Menurut pengurus Masjid Al Osmani, Ahmad Faruni, ketika itu rakyat dan kerajaan Melayu Deli hidup dalam kemakmuran dari hasil menjual rempah-rempah dan tembakau. Rejeki yang berlimpah sebagian digunakan Sulthan Mahmud Perkasa Alam, yang berkuasa pada saat itu, untuk menjadikan masjid itu sebagai bagunan megah.
Sulthan pun menyewa tenaga arsitek dari Belanda dan Jerman untuk membangun kembali mesjid dengan bahan bangunan yang terbuat dari batu, kapur, dan garam yang dicampur dengan putih telur. Dengan usia mencapai 138 tahun, masjid bercat kuning dan hijau sebagai warna kebesaran Melayu dan Islam itu pun sempat mengalami beberapa kali renovasi dan pemugaran.
Namun semua itu tidak menghilangkan arsitektur asli yang merupakan perpaduan bangunan Timur Tengah, India, Spanyol, Melayu, dan China.
Terdapat tiga pintu utama berukuran besar yang berada di utara, timur, dan selatan masjid dan dulunya hanya digunakan oleh para raja deli.
Sedangkan rakyatnya masuk melalui empat pintu yang berukuran kecil yang berada di bagian utara dan selatan. Kedua pintu berukuran kecil itu mengapit pintu utama.
Di bagian dalam masjid yang sanggup menampung 500 jamaah itu terdapat empat tiang besar dan kokoh yang berfungsi sebagai penyangga utama kubah masjid yang tergolong berukuran besar dibandingkan kubah mesjid lain.
Empat penyangga itu juga mempunyai arti menjunjung empat sifat kenabian, yakni sidiq yang berarti benar, amanah yang berarti dapat dipercaya, fathonah yang berarti pintar, dan tabligh yang berarti menyampaikan.
Hingga kini, selain digunakan sebagai tempat beribadah, masjid itu juga dipakai sebagai tempat peringatan dan perayaan hari besar keagamaan dan tempat pemberangkatan menuju pemondokan jamaah haji yang berasal dari Medan utara.
Sementara itu pada perkuburan wakaf masjid juga terdapat lima makam raja deli yang dikuburkan yakni Tuanku Panglima Pasutan (Raja Deli IV), Tuanku Panglima Gandar Wahid (Raja Deli V), Sulthan Amaluddin Perkasa Alam (Raja Deli VI), Sulthan Osman Perkasa Alam, dan Sulthan Mahmud Perkasa Alam.
Di seberang masjid itu, dulu, ada Istana Kerajaan Melayu Deli. Istana kerajaan itu dibangun ketika Tuanku Panglima Pasutan memindahkan pusat kerajaan dari Padang Datar, sebutan Kota Medan waktu itu, ke Kampung Alai, sebutan untuk Labuhan Deli.
Pemindahan itu dilakukan setelah Tuanku Panglima Padrab Muhammad Fadli (Raja Deli III) memecah daerah kekuasaannya menjadi empat bagian untuk empat putranya.
Masa pemerintahan Tuanku Panglima Pasutan dengan Istana Kerajaan Melayu di Labuhan Deli berlangsung pada 1728-1761, yang kemudian diteruskan putranya Tuanku Panglima Gandar Wahid (1761-1805) dan Sulthan Amaluddin Perkasa Alam (1805-1850).
Lalu Sulthan Osman Perkasa Alam (1850-1858), Sulthan Mahmud Perkasa Alam (1858-1873), dan Sulthan Ma’mum Al Rasyid Perkasa Alam (1873-1924).
Pada masa Sulthan Ma’mum Al Rasyid Perkasa Alam itulah Istana Kerajaan Melayu dipindah kembali ke daerah Padang Datar dengan dibangunnya Istana Maimun pada 26 Agustus 1888 dan selesai 18 Mei 1891. Diikuti pembangunan Masjid Raya Al Mashun pada 1907 dan selesai pada 10 September 1909.
Hal itu dilakukan setelah Kerajaan Melayu di Labuhan Deli dikuasai Belanda, yaitu ketika kerjaan itu dipimpin oleh Sulthan Mahmud Perkasa Alam.
Sang Raja terpaksa memberikan sebagian daerahnya menjadi tanah konsesi kepada penjajah pada 1863 untuk ditanami tembakau deli.
Kini, Masjid Al Osmani merupakan bukti perjalanan panjang sejarah kejayaan Melayu di Kota Medan. Bangunan itu hingga saat ini masih berdiri kokoh. (Muhammad Said)
Foto: Khairul Ikhwan
sumber : antara-sumut.com
Gn Sibayak, Tanah Karo; Pesonanya Menantang Nyali
Sampai saat ini sepertinya Gunung Sibayak tidak akan habis-habisnya didaki oleh pencinta alam yang datang dari berbagai pelosok daerah. Pada hari-hari tertentu lokasi wisata penuh petualangan ini seperti layaknya pasar malam. Lautan manusia tumpah bersama lampu, lilin yang memancarkan keindahan ketika malam hari. Deru angin yang dingin menambah pesona Gunung Sibayak bertambah menarik untuk dikunjungi.
Gunung Sibayak (2094 mdpl) secara administratif terletak di Desa Raja Berneh atau lebih dikenal dengan sebutan Desa Semangat Gunung, Kecamatan Simpang Empat, Kabupaten Tanah Karo (60 KM dari Kota Medan). Daerah yang berada di kaki Gunung Sibayak merupakan kawasan pertanian yang bercocok tanam sayuran dan hortikultura lainnya. Tidak salah kalau lokasi ini menjadi salah satu daerah tujuan agrowisata yang ada di Sumatera Utara.
Jalan menuju lokasi Gunung Sibayak tidak terlalu sulit. Pendakiannya tidak membutuhkan teknik khusus. Bahkan pendaki pemula akan dengan mudah mencapai puncak serta menikmati embusan angin berbau belerang yang keluar dari kawah Gunung Sibayak. Dari Kota Medan, lokasi ini bisa ditempuh dengan menggunakan kendaraan umum. Tarifnya bervariasi antara Rp3000—Rp3500 sekali pergi.
Sementara itu, titik pendakian menuju Gunung Sibayak ada di beberapa lokasi, di antaranya kawasan jalur Lima Empat. Disebut jalur Lima Empat karena lokasi ini berada pada posisi KM 54 dari Kota Medan. Jika perjalanan diawali dari jalur Lima Empat kita dapat menikmati santapan jagung bakar atau rebus sebelum melanjutkan perjalanan. Dari titik ini perjalanan menuju puncak Gunung Sibayak dapat ditempuh dengan waktu 3-4 jam.
Selain udara sejuk, jagung rebus dapat dinikmati dengan harga yang terjangkau berkisar Rp 1000 per buahnya. Tidak jauh dengan lokasi ini, juga dapat melihat Air Terjun Sikulikap yang memiliki ketinggian di atas 7 meter. Pendek kata kita dapat menikmati suasana tersebut untuk mendapatkan kepuasan dengan biaya yang terbilang ekonomis. Jalur pilihan yang juga biasa dipergunakan adalah jalur Simpang Doulu atau jalur tangga yang berada di Desa Semangat Gunung.
Dari jalur ini, perjalanan relatif lebih pendek sekitar 2 jam dengan menempuh jalur tangga yang selama ini menjadi jalur yang ramai dilintasi. Sebelum beranjak menuju puncak Gunung Sibayak, di kawasan Doulu akan ditemukan lokasi pemandia air panas yang bersumber dari kawah Gunung Sibayak. Sedangkan jalur lintasan lainnya adalah jalur pariwisata dari Kota Wisata Brastagi dengan jarak tempuh 4 jam, dan jalur dari Kecamatan Sibolangit yang membutuhkan waktu perjalanan tiga hari.
Setelah sampai di Puncak Gunung Sibayak, pengunjung dapat menikmati pesona dan gugusan bebatuan serta kawah yang mengembuskan asap berbau belerang. Pagi hari kita bisa menyaksikan keindahan matahari pagi yang menyemburkan sinar di sela-sela bebatuan yang ada. Sementara sore harinya kita akan menyaksikan keindahan lembayung senja sambil menunggu matahari menuju peraduannya di ufuk Barat. Dari puncak Gunung Sibayak terlihat juga dari kejauhan beberapa perkampungan di bawahnya serta puncak Gunung Sinabung yang memang berdampingan dengan Gunung Sibayak.
Selain Gunung Sibayak, di daerah ini amatlah banyak daerah yang dapat dijadikan tempat berekreasi dengan satu spesifikasi keindahan alam dan kesejukan udaranya. Tidak mengherankan kalau menjelang akhir tahun atau hari libur penginapan serta hotel yang berada di kawasan tersebut padat. Di daerah Karo Simalem bukan hanya itu yang dapat kita nikmati, pemandangan dan gugusan pegunungan yang berada di dataran tinggi yang sejuk juga telah menjadi daya tarik tersendiri bagi kawula muda.
Setidaknya sampai hari ini ada dua lokasi yang sering dikunjungi oleh banyak orang, yaitu Sibayak dan Sinabung. Kedua lokasi ini tetap menjadi primadona dengan sajian panorama dan kesejukan yang hampir tidak jauh berbeda. Namun, di lokasi Sinabung tersebut kita akan menemukan danau air tawar yang juga memberikan keindahan tersendiri. Tidak jarang pendatang akan berulang kali mengunjungi lokasi tersebut.
Desa Semangat Gunung pasti sudah melekat di hati mereka yang memiliki hobi jalan dan berendam dengan air panas belerang. Berada di Kecamatan Simpang Empat, Kabupaten Tanahkaro, kawasan ini menjadi pilihan wisata akhir pekan bagi keluarga. Dengan balutan udara sejuk karena berada di kaki Gunung Sibayak, daerah kunjungan wisata ini dianugerahi air panas belerang. Ali mengalir sepanjang masa dengan balutan panorama eksotis yang menyajikan suasana indah, tenang serta damai.
sumber : perempuan.com
Gunung Sibayak (2094 mdpl) secara administratif terletak di Desa Raja Berneh atau lebih dikenal dengan sebutan Desa Semangat Gunung, Kecamatan Simpang Empat, Kabupaten Tanah Karo (60 KM dari Kota Medan). Daerah yang berada di kaki Gunung Sibayak merupakan kawasan pertanian yang bercocok tanam sayuran dan hortikultura lainnya. Tidak salah kalau lokasi ini menjadi salah satu daerah tujuan agrowisata yang ada di Sumatera Utara.
Jalan menuju lokasi Gunung Sibayak tidak terlalu sulit. Pendakiannya tidak membutuhkan teknik khusus. Bahkan pendaki pemula akan dengan mudah mencapai puncak serta menikmati embusan angin berbau belerang yang keluar dari kawah Gunung Sibayak. Dari Kota Medan, lokasi ini bisa ditempuh dengan menggunakan kendaraan umum. Tarifnya bervariasi antara Rp3000—Rp3500 sekali pergi.
Sementara itu, titik pendakian menuju Gunung Sibayak ada di beberapa lokasi, di antaranya kawasan jalur Lima Empat. Disebut jalur Lima Empat karena lokasi ini berada pada posisi KM 54 dari Kota Medan. Jika perjalanan diawali dari jalur Lima Empat kita dapat menikmati santapan jagung bakar atau rebus sebelum melanjutkan perjalanan. Dari titik ini perjalanan menuju puncak Gunung Sibayak dapat ditempuh dengan waktu 3-4 jam.
Selain udara sejuk, jagung rebus dapat dinikmati dengan harga yang terjangkau berkisar Rp 1000 per buahnya. Tidak jauh dengan lokasi ini, juga dapat melihat Air Terjun Sikulikap yang memiliki ketinggian di atas 7 meter. Pendek kata kita dapat menikmati suasana tersebut untuk mendapatkan kepuasan dengan biaya yang terbilang ekonomis. Jalur pilihan yang juga biasa dipergunakan adalah jalur Simpang Doulu atau jalur tangga yang berada di Desa Semangat Gunung.
Dari jalur ini, perjalanan relatif lebih pendek sekitar 2 jam dengan menempuh jalur tangga yang selama ini menjadi jalur yang ramai dilintasi. Sebelum beranjak menuju puncak Gunung Sibayak, di kawasan Doulu akan ditemukan lokasi pemandia air panas yang bersumber dari kawah Gunung Sibayak. Sedangkan jalur lintasan lainnya adalah jalur pariwisata dari Kota Wisata Brastagi dengan jarak tempuh 4 jam, dan jalur dari Kecamatan Sibolangit yang membutuhkan waktu perjalanan tiga hari.
Setelah sampai di Puncak Gunung Sibayak, pengunjung dapat menikmati pesona dan gugusan bebatuan serta kawah yang mengembuskan asap berbau belerang. Pagi hari kita bisa menyaksikan keindahan matahari pagi yang menyemburkan sinar di sela-sela bebatuan yang ada. Sementara sore harinya kita akan menyaksikan keindahan lembayung senja sambil menunggu matahari menuju peraduannya di ufuk Barat. Dari puncak Gunung Sibayak terlihat juga dari kejauhan beberapa perkampungan di bawahnya serta puncak Gunung Sinabung yang memang berdampingan dengan Gunung Sibayak.
Selain Gunung Sibayak, di daerah ini amatlah banyak daerah yang dapat dijadikan tempat berekreasi dengan satu spesifikasi keindahan alam dan kesejukan udaranya. Tidak mengherankan kalau menjelang akhir tahun atau hari libur penginapan serta hotel yang berada di kawasan tersebut padat. Di daerah Karo Simalem bukan hanya itu yang dapat kita nikmati, pemandangan dan gugusan pegunungan yang berada di dataran tinggi yang sejuk juga telah menjadi daya tarik tersendiri bagi kawula muda.
Setidaknya sampai hari ini ada dua lokasi yang sering dikunjungi oleh banyak orang, yaitu Sibayak dan Sinabung. Kedua lokasi ini tetap menjadi primadona dengan sajian panorama dan kesejukan yang hampir tidak jauh berbeda. Namun, di lokasi Sinabung tersebut kita akan menemukan danau air tawar yang juga memberikan keindahan tersendiri. Tidak jarang pendatang akan berulang kali mengunjungi lokasi tersebut.
Desa Semangat Gunung pasti sudah melekat di hati mereka yang memiliki hobi jalan dan berendam dengan air panas belerang. Berada di Kecamatan Simpang Empat, Kabupaten Tanahkaro, kawasan ini menjadi pilihan wisata akhir pekan bagi keluarga. Dengan balutan udara sejuk karena berada di kaki Gunung Sibayak, daerah kunjungan wisata ini dianugerahi air panas belerang. Ali mengalir sepanjang masa dengan balutan panorama eksotis yang menyajikan suasana indah, tenang serta damai.
sumber : perempuan.com
Danau cantik dari Bencana
Oleh Amril Taufik Gobel
Tak lengkap rasanya jika Anda berkunjung ke Sumatera Utara tidak mampir sejenak ke Danau Toba, danau vulkanik yang merupakan danau terbesar di Indonesia, bahkan Asia Tenggara. Pesona eksotisnya berupa hamparan danau luas laksana lautan dengan pepohonan rindang dan perbukitan yang menawan. Danau ini berukuran 1700 meter persegi dengan kedalaman kurang lebih 450 meter dan terletak 906 meter di atas permukaan laut, di tengah danau terdapat Pulau Samosir yang tak kalah menariknya menjadi objek kunjungan wisata.
Photo credits - Arie Basuki/Tempo
Dalam kunjungannya pada 1996, Pangeran Bernard dari Belanda bahkan menyatakan kekagumannya pada panorama indah danau ini. “Juallah nama saya untuk danau ini. Saya tak dapat melukiskan betapa indahnya Danau Toba,” katanya antusias.
Ada tujuh kabupaten di sekeliling danau, yakni Simalungun, Toba Samosir, Tapanuli Utara, Humbang Hasundutan, Dairi, Karo, dan Samosir yang memiliki panorama alam indah dan menjadi lokasi tujuan wisata. Umumnya wisatawan menikmati keelokan Danau Toba dari Parapat di Simalungun dan Tuktuk Siadong di Pulau Samosir.
Diperkirakan Danau Toba terjadi saat ledakan sekitar 73 ribu-75 ribu tahun lalu dan merupakan letusan super volcano (gunung berapi super) yang paling baru. Bill Rose dan Craig Chesner dari Michigan Technological University memperkirakan bahwa bahan-bahan vulkanik yang dimuntahkan gunung itu sebanyak 2.800 km³, dengan 800 km³ batuan ignimbrit dan 2.000 km³ abu vulkanik yang diperkirakan tertiup angin ke barat selama dua minggu.
Photo credits - Agung Chandra/TempoDebu vulkanik yang ditiup angin telah menyebar ke separuh bumi, dari Cina sampai ke Afrika Selatan. Letusannya terjadi selama satu minggu dan lontaran debunya mencapai 10 km di atas permukaan laut.
Kejadian ini menyebabkan kematian massal dan, pada beberapa spesies, juga diikuti kepunahan. Menurut beberapa bukti DNA, letusan ini juga menyusutkan jumlah manusia sampai sekitar 60% dari jumlah populasi manusia bumi saat itu, yaitu sekitar 60 juta manusia. Letusan itu juga ikut menyebabkan terjadinya zaman es, walaupun para ahli masih memperdebatkannya.
Setelah letusan tersebut, terbentuk kaldera yang kemudian terisi oleh air dan menjadi yang sekarang dikenal sebagai Danau Toba. Tekanan ke atas oleh magma yang belum keluar menyebabkan munculnya Pulau Samosir. Ketika menikmati keindahan danau ini, Anda mungkin tak membayangkan bahwa pesona yang terjadi berasal dari bencana dahsyat letusan gunung berapi yang mendatangkan ketakutan dan kengerian ketika itu.
Perjalanan darat ke Danau Toba, tepatnya ke Parapat, memakan waktu empat sampai lima jam dari Medan. Tersedia bus atau travel yang langsung menuju Parapat. Rutenya melewati Lubuk Pakam, Tebing Tinggi, dan belok ke arah Pematang Siantar. Sepanjang perjalanan, kita disuguhi panorama perkebunan kelapa sawit dan karet.
Apabila menggunakan kereta api, dari Medan pilih rute menuju Pematang Siantar. Dari sini perjalanan dilanjutkan menggunakan bus ke Parapat. Waktu tempuhnya satu jam.
Photo credits - Agung Chandra/Tempo
Untuk tempat menginap dan tinggal lebih lama menikmati keindahan Danau Toba, tersedia banyak hotel dan penginapan. Di Parapat, sedikitnya ada 900 kamar hotel berbagai jenis, mulai dari bintang empat hingga homestay, di Tuktuk juga tak berbeda. Baik di Parapat maupun Tuktuk, wisatawan dapat langsung menikmati danau dari pinggirannya. Tarif hotel di Tuktuk dan Parapat bervariasi, sesuai tipikal turis yang datang. Mulai dari Rp 30 ribu hingga Rp 500 ribu per malam tergantung tipe hotel.
Sebuah perusahaan travel bahkan menawarkan menikmati keindahan Danau Toba dari udara, yakni menggunakan paralayang. Setiap wisatawan diberi kesempatan terbang menggunakan paralayang dari kawasan pegunungan Tongging, Kabupaten Tanah Karo, Sumatera Utara. Bagi para wisatawan yang ingin mencoba paralayang akan ditemani seorang instruktur berpengalaman, namun tentunya penentuan bisa terbang atau tidak tergantung pada kondisi cuaca dan angin.
Tidak hanya itu, menikmati keindahan matahari terbit dan terbenam bisa Anda nikmati dari pesisir danau. Dari dataran tinggi Karo di sebelah utara, keelokan danau terlihat memanjang dipandang dari Sikodonkodon. Namun, hanya ada satu resor di sini. Di sisi barat, pemandangan danau dan Pulau Samosir dapat dengan sempurna disaksikan dari Tele. Ada gardu pandang di ketinggian sekitar 1.000 meter dari permukaan laut untuk menikmati senja di Danau Toba.
sumber : yahoo.com
Tak lengkap rasanya jika Anda berkunjung ke Sumatera Utara tidak mampir sejenak ke Danau Toba, danau vulkanik yang merupakan danau terbesar di Indonesia, bahkan Asia Tenggara. Pesona eksotisnya berupa hamparan danau luas laksana lautan dengan pepohonan rindang dan perbukitan yang menawan. Danau ini berukuran 1700 meter persegi dengan kedalaman kurang lebih 450 meter dan terletak 906 meter di atas permukaan laut, di tengah danau terdapat Pulau Samosir yang tak kalah menariknya menjadi objek kunjungan wisata.
Photo credits - Arie Basuki/Tempo
Dalam kunjungannya pada 1996, Pangeran Bernard dari Belanda bahkan menyatakan kekagumannya pada panorama indah danau ini. “Juallah nama saya untuk danau ini. Saya tak dapat melukiskan betapa indahnya Danau Toba,” katanya antusias.
Ada tujuh kabupaten di sekeliling danau, yakni Simalungun, Toba Samosir, Tapanuli Utara, Humbang Hasundutan, Dairi, Karo, dan Samosir yang memiliki panorama alam indah dan menjadi lokasi tujuan wisata. Umumnya wisatawan menikmati keelokan Danau Toba dari Parapat di Simalungun dan Tuktuk Siadong di Pulau Samosir.
Diperkirakan Danau Toba terjadi saat ledakan sekitar 73 ribu-75 ribu tahun lalu dan merupakan letusan super volcano (gunung berapi super) yang paling baru. Bill Rose dan Craig Chesner dari Michigan Technological University memperkirakan bahwa bahan-bahan vulkanik yang dimuntahkan gunung itu sebanyak 2.800 km³, dengan 800 km³ batuan ignimbrit dan 2.000 km³ abu vulkanik yang diperkirakan tertiup angin ke barat selama dua minggu.
Photo credits - Agung Chandra/TempoDebu vulkanik yang ditiup angin telah menyebar ke separuh bumi, dari Cina sampai ke Afrika Selatan. Letusannya terjadi selama satu minggu dan lontaran debunya mencapai 10 km di atas permukaan laut.
Kejadian ini menyebabkan kematian massal dan, pada beberapa spesies, juga diikuti kepunahan. Menurut beberapa bukti DNA, letusan ini juga menyusutkan jumlah manusia sampai sekitar 60% dari jumlah populasi manusia bumi saat itu, yaitu sekitar 60 juta manusia. Letusan itu juga ikut menyebabkan terjadinya zaman es, walaupun para ahli masih memperdebatkannya.
Setelah letusan tersebut, terbentuk kaldera yang kemudian terisi oleh air dan menjadi yang sekarang dikenal sebagai Danau Toba. Tekanan ke atas oleh magma yang belum keluar menyebabkan munculnya Pulau Samosir. Ketika menikmati keindahan danau ini, Anda mungkin tak membayangkan bahwa pesona yang terjadi berasal dari bencana dahsyat letusan gunung berapi yang mendatangkan ketakutan dan kengerian ketika itu.
Perjalanan darat ke Danau Toba, tepatnya ke Parapat, memakan waktu empat sampai lima jam dari Medan. Tersedia bus atau travel yang langsung menuju Parapat. Rutenya melewati Lubuk Pakam, Tebing Tinggi, dan belok ke arah Pematang Siantar. Sepanjang perjalanan, kita disuguhi panorama perkebunan kelapa sawit dan karet.
Apabila menggunakan kereta api, dari Medan pilih rute menuju Pematang Siantar. Dari sini perjalanan dilanjutkan menggunakan bus ke Parapat. Waktu tempuhnya satu jam.
Photo credits - Agung Chandra/Tempo
Untuk tempat menginap dan tinggal lebih lama menikmati keindahan Danau Toba, tersedia banyak hotel dan penginapan. Di Parapat, sedikitnya ada 900 kamar hotel berbagai jenis, mulai dari bintang empat hingga homestay, di Tuktuk juga tak berbeda. Baik di Parapat maupun Tuktuk, wisatawan dapat langsung menikmati danau dari pinggirannya. Tarif hotel di Tuktuk dan Parapat bervariasi, sesuai tipikal turis yang datang. Mulai dari Rp 30 ribu hingga Rp 500 ribu per malam tergantung tipe hotel.
Sebuah perusahaan travel bahkan menawarkan menikmati keindahan Danau Toba dari udara, yakni menggunakan paralayang. Setiap wisatawan diberi kesempatan terbang menggunakan paralayang dari kawasan pegunungan Tongging, Kabupaten Tanah Karo, Sumatera Utara. Bagi para wisatawan yang ingin mencoba paralayang akan ditemani seorang instruktur berpengalaman, namun tentunya penentuan bisa terbang atau tidak tergantung pada kondisi cuaca dan angin.
Tidak hanya itu, menikmati keindahan matahari terbit dan terbenam bisa Anda nikmati dari pesisir danau. Dari dataran tinggi Karo di sebelah utara, keelokan danau terlihat memanjang dipandang dari Sikodonkodon. Namun, hanya ada satu resor di sini. Di sisi barat, pemandangan danau dan Pulau Samosir dapat dengan sempurna disaksikan dari Tele. Ada gardu pandang di ketinggian sekitar 1.000 meter dari permukaan laut untuk menikmati senja di Danau Toba.
sumber : yahoo.com
Langganan:
Postingan (Atom)